- Implikasi perubahan kelembagaan juga menyentuh status pejabat BUMN. Apabila mereka resmi dianggap sebagai penyelenggara negara maka konsekuensinya tunduk pada prinsip tata kelola pemerintahan yang baik serta rezim hukum publik, termasuk risiko jerat tindak pidana korupsi.
JOGJA, bisnisjogja.id – Usulan perubahan Kementerian BUMN menjadi Badan Penyelenggara BUMN berpotensi menimbulkan masalah konstitusional dan kelembagaan.
Pakar hukum tata negara Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr Nanik Prasetyoningsih mengungkapkan itu menyoroti rencana perubahan Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (RUU BUMN) yang tengah dibahas pemerintah dan DPR.
”Nomenklatur kementerian secara tegas diatur dalam Pasal 17 UUD 1945. Menggantinya dengan badan penyelenggara memunculkan pertanyaan mendasar, apakah entitas baru tersebut sah dalam sistem ketatanegaraan Indonesia,” ungkap Nanik, Senin (29/9/2025).
Ia menilai hal itu bisa menciptakan area abu-abu dan dualisme akuntabilitas. Tidak jelas apakah badan tunduk langsung kepada presiden atau memiliki independensi tertentu.
Motif Perubahan
Ia menjelaskan, motif perubahan kemungkinan didorong oleh dua hal. Pertama, meningkatkan profesionalisme tata kelola BUMN. Kedua, memperkuat akuntabilitas pejabatnya. Namun, tanpa landasan normatif yang tegas, langkah tersebut justru berisiko kontraproduktif.
”Jika statusnya setengah independen, akan timbul dualisme pertanggungjawaban dan kerancuan regulasi antara hukum publik dan hukum korporasi,” tandas Nanik.
Menurutnya, implikasi perubahan kelembagaan juga menyentuh status pejabat BUMN. Apabila mereka resmi dianggap sebagai penyelenggara negara, maka konsekuensinya tunduk pada prinsip tata kelola pemerintahan yang baik serta rezim hukum publik, termasuk risiko jerat tindak pidana korupsi.
Hal tersebut memang positif bagi transparansi, tetapi di sisi lain dapat memunculkan kekhawatiran kriminalisasi berlebihan. Jika tidak dianggap penyelenggara negara, maka problem integritas pejabat BUMN tetap menggantung.
Pengawasan dan Audit
”Pengawasan dan audit juga menjadi sorotan. Keuangan publik tetap harus berada dalam jangkauan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),” tandas Nanik.
Jika RUU tidak memberi ketegasan, tumpang tindih dengan pengawasan internal BUMN berpotensi terjadi. Risiko lain menurutnya politisasi fungsi pengawasan yang bisa merusak independensi lembaga.
Ia menegaskan, RUU BUMN masih prematur. Nanik menyarankan agar pembuat undang-undang memperkuat dasar konstitusional badan penyelenggara, mengatur klausul transisi kelembagaan secara rinci, mempertegas mekanisme audit, dan menambahkan klausul review periodik untuk evaluasi.
”Ini bisa menjadi momentum memperbaiki tata kelola BUMN kalau diatur secara baik. Jika tidak hati-hati, justru akan melahirkan lembaga abu-abu yang menambah kerumitan birokrasi tanpa manfaat nyata,” tegasnya.