Gabriel Lele: Kebijakan Cenderung Mengabaikan Partisipasi Publik

oleh -59 Dilihat
Guru Besar Tata Kelola Kebijakan Publik UGM, Gabriel Lele.(Foto: dok UGM)

JOGJA, bisnisjogja.id – Kebijakan publik seringkali menjadi paradoks yang menyakitkan. Bukannya menyelesaikan masalah tapi justru melahirkan konflik baru. Fenomena ini tampak dari beragam kebijakan kontroversial seperti pemindahan Ibu Kota Negara, program Makan Bergizi Gratis, pembentukan Koperasi Merah Putih, serta sejumlah kontroversi yang mengiringi proyek strategis nasional.

”Kebijakan semacam itu memperlihatkan kecenderungan mengabaikan pluralitas dan menutup ruang partisipasi publik yang bermakna. Kebijakan publik tidak boleh menjadi alat kekuasaan yang membungkam, tapi harus menjadi arena perbedaan yang setara,” tandas Dosen Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik Fisipol UGM Prof Gabriel Lele.

Ia mengungkapkan kritik itu saat pengukuhan dirinya sebagai guru besar bidang Tata Kelola Kebijakan Publik. Ia menyampaikan pidato ilmiah berjudul ”Democracy Beyond Election: Kebijakan Publik Agonistik sebagai Agenda Transformasi”.

Menurutnya, demokrasi tidak boleh direduksi hanya pada prosedur elektoral. Demokrasi harus menjadi kerja harian yang terus hidup melalui kebijakan publik yang berpihak dan transformatif.

”Demokrasi tidak boleh berhenti pada pemilu, tetapi mesti hidup dalam kebijakan publik sebagai ruang perjumpaan yang setara antar warga,” tandas Gabriel.

Objek Pasif

Dalam praktik kebijakan publik Indonesia, ia mengatakan tiga kecenderungan patologis, yakni populisme, otoritarianisme, dan penyeragaman kebijakan. Ketiganya berakar pada cara pandang yang menolak konflik dan keberagaman sebagai sesuatu yang wajar dalam demokrasi.

Dalam sistem yang demikian, publik kerap diposisikan sebagai objek pasif, bukan sebagai subjek aktif yang memiliki hak untuk berbeda dan menyuarakan kepentingan.

Kebijakan publik sering disusun dalam ruang tertutup, padahal seharusnya kebijakan tersebut menjadi ruang terang tempat semua suara bisa didengar.

Gabriel menekankan pentingnya menggeser paradigma kebijakan publik dari cara berpikir teknokratis menuju pendekatan yang lebih reflektif dan demokratis. Ia menawarkan perspektif agonistik, sebuah pendekatan yang mengakui bahwa konflik bukan sesuatu yang harus dihindari, melainkan dikelola sebagai bagian dari dinamika masyarakat plural.

Dalam kerangka ini, perbedaan pandangan tidak dianggap sebagai ancaman, tetapi sebagai sumber kekuatan demokrasi yang sehat dan hidup. Kampus tidak hanya menjadi tempat belajar, tapi juga tempat menempa kesadaran akan kebebasan dan kesetaraan.

Transformasi

”Supaya transformasi kebijakan publik menuju model yang demokratis dapat terwujud, perubahan tidak hanya dibutuhkan pada tingkat institusional, tetapi juga pada tingkat epistemik,” ujar Gabriel.

Perubahan tersebut meliputi cara memahami, mengajarkan, dan mempraktikkan kebijakan publik, termasuk dalam mendefinisikan siapa publik.

Ia menilai saat ini terjadi penggeseran makna dari kebijakan publik menjadi kebijakan pemerintah, yang pada dasarnya menandai keterputusan antara rakyat dan pengambilan keputusan. Demokrasi tidak akan pernah utuh jika publik terus dimarjinalkan dalam proses-proses kebijakan.

”Universitas memiliki tanggung jawab penting merawat dan mengembangkan ekosistem akademik yang kritis dan demokratis. Kampus harus menjadi ruang yang merayakan keberagaman pemikiran dan menyediakan wahana bagi tumbuhnya civic education yang bermutu,” pintanya.

Kampus tidak hanya menghasilkan lulusan yang cakap secara teknis, tapi juga memiliki keberpihakan etis pada kebebasan dan kesetaraan. Universitas harus menjadi arena multiversitas yang memupuk pluralitas tanpa kehilangan komitmen pada persatuan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.