Ratu Adil dan Makna Baru Keistimewaan Yogyakarta

oleh -66 Dilihat
Yuliantoro.(Foto: istimewa)

 

  • Dalam tradisi Jawa, kepemimpinan tidak semata ditentukan garis darah, tetapi oleh wahyu kedaton, daya spiritual yang dipercaya turun kepada sosok yang pantas secara moral dan batin.
  • Jika kelak Ratu Mangkubumi bertahta, tantangannya bukan soal gender, tetapi kemampuan menegakkan nilai adil, welas asih, lan prasaja, esensi kepemimpinan Mataram Islam.

 

SEJAK Sri Sultan Hamengkubuwono X menetapkan Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi sebagai putri mahkota pada 2015, Yogyakarta membuka babak baru dalam sejarah panjang Mataram Islam.

Pertama kalinya, seorang perempuan disiapkan menjadi pemimpin tertinggi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, langkah yang menandai perubahan besar dalam tafsir kepemimpinan Jawa.

Beberapa waktu lalu, Sultan menegaskan kembali pandangannya, perempuan berhak terlibat dalam proses regenerasi di Kasultanan.

”Republik tidak membedakan laki-laki dan perempuan, kenapa saya harus membedakan? Zaman sudah berubah,” ujarnya.

Pernyataan itu bukan sekadar pernyataan politik, melainkan penegasan nilai konstitusional yang selaras dengan semangat kesetaraan dalam UUD 1945.

Sebagian masyarakat menyambutnya sebagai kemajuan budaya. Sebagian lain menilai sebagai penyimpangan dari paugeran tradisional. Namun di atas segala perdebatan, persoalan utama bukan pada siapa yang akan memimpin, laki-laki atau perempuan, melainkan apakah Keraton mampu menjaga amanahnya kepada rakyat.

Pertanyaannya, masihkah tahta Yogyakarta berpihak kepada rakyat, wong cilik, – tahta untuk rakyat – sebagaimana cita-cita luhur para pendiri Mataram Islam?

Bukan Soal Gender

Dalam tradisi Jawa, kepemimpinan tidak semata ditentukan garis darah, tetapi oleh wahyu kedaton, daya spiritual yang dipercaya turun kepada sosok yang pantas secara moral dan batin.

Siapa pun yang menerimanya wajib menegakkan keadilan serta keseimbangan jagad. Karena itu, ketika Sultan HB X menyatakan perempuan pun bisa memimpin, itu bukan pemberontakan terhadap adat, melainkan pembacaan ulang atas semangat Mataram.

Menurut antropolog Koentjaraningrat (1984), struktur budaya Jawa memiliki kemampuan beradaptasi terhadap perubahan sosial tanpa kehilangan inti nilai moralnya. Artinya, pembaruan dalam sistem suksesi tidak serta-merta menghapus tradisi, melainkan memperluas tafsir nilai-nilai keutamaan (unggah-ungguh lan budi luhur) dalam konteks modern.

Sejarah Nusantara juga menunjukkan preseden perempuan agung, Ratu Kalinyamat di Jepara yang disegani Portugis, Tribhuwana Tunggadewi di Majapahit yang mempersiapkan kejayaan Hayam Wuruk, hingga Cut Nyak Dien di Aceh yang berjuang demi kemerdekaan.

Seperti dicatat sejarawan Denys Lombard (1996), kepemimpinan perempuan di Jawa dan Nusantara sering muncul ketika tatanan lama butuh keseimbangan baru. Maka, jika kelak Ratu Mangkubumi bertahta, tantangannya bukan soal gender, tetapi kemampuan menegakkan nilai adil, welas asih, lan prasaja, esensi kepemimpinan Mataram Islam.

Amanah untuk Rakyat

Keraton Ngayogyakarta bukan sekadar simbol kebesaran budaya, tetapi sumber moral dan spiritual rakyat. Dalam petuah Jawa disebut, Ratu iku pepadhanging jagad lan pangayoming rakyat, raja adalah penerang dunia dan pelindung rakyatnya.

Amanah tersebut diwariskan sejak Panembahan Senopati, Sultan Agung, hingga Sultan Hamengkubuwono IX yang memaknai kekuasaan sebagai sarana hamemayu hayuning bawana, memelihara kesejahteraan semesta.

Sultan HB IX mencontohkannya dengan tindakan nyata, membuka lumbung pangan di masa perang, menyerahkan tanah Keraton untuk kampus dan sekolah, serta hidup sederhana meski berkuasa. Dalam pandangan sejarawan Onghokham (2001), HB IX mewujudkan ideal pemimpin Jawa modern, eling marang rakyat lan ora gumedhe marang pangkat.

Kini amanah itu diuji di tengah persoalan agraria yang kompleks. ”Sengketa” tanah Sultan Ground dan Pakualaman Ground menimbulkan luka sosial. Banyak rakyat kecil yang turun-temurun menggarap tanah merasa tersisih oleh klaim atas nama adat dan legalitas birokrasi.

Padahal, sebagaimana dijelaskan Benedict Anderson dalam Language and Power (1990), tanah dalam pandangan kosmologi Jawa bukan sekadar properti, tetapi pusat relasi spiritual antara penguasa dan rakyat. Bila relasi itu retak, maka kekuasaan kehilangan legitimasi moralnya.

Maka, kebijakan tanah di Yogyakarta harus menempatkan keadilan dan kemanusiaan di atas kepentingan administratif. Keistimewaan sejati tidak terletak pada hak istimewa, tetapi pada tanggung jawab moral untuk memastikan rakyat hidup layak di atas tanahnya sendiri.

Keistimewaan dan Keberpihakan

Keistimewaan Yogyakarta tidak berhenti pada seremoni budaya, parade pusaka, atau nostalgia aristokrasi. Ia harus hidup dalam kebijakan yang memakmurkan rakyat, memperluas akses pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan. Dalam konteks pembangunan modern, keistimewaan harus berarti keberpihakan.

Sebagaimana dikemukakan oleh Prof Sutaryo (UGM, 2019), ”Substansi keistimewaan adalah keberanian mengambil kebijakan afirmatif bagi rakyat kecil, bukan sekadar pelestarian simbol”.

Maka, Keraton dan Pemerintah Daerah perlu berjalan seiring dalam mewujudkan kesejahteraan, menata tata kelola tanah, dan mengembalikan wajah Yogyakarta sebagai ruang hidup yang manusiawi.

Rakyat tidak membutuhkan kemegahan simbolik, mereka memerlukan kehadiran moral. Dalam falsafah Jawa, pemimpin sejati adalah yang ngayomi lan ngopeni rakyat, ora mung nguwasani. Dalam bahasa modern, pemimpin yang visioner adalah yang menggerakkan keadilan sosial, bukan sekadar mengatur birokrasi.

Menjaga Warisan

Keraton Yogyakarta lahir dari ruh Mataram Islam, perpaduan Islam, kebijaksanaan Jawa, dan rasa welas asih universal. Para pendirinya, seperti Panembahan Senopati dan Sultan Agung, membangun tatanan yang berorientasi pada keseimbangan spiritual dan sosial.

Sejarawan MC Ricklefs (2012) menulis bahwa kerajaan-kerajaan Islam Jawa berusaha menyatukan kekuasaan dengan nilai moral, agar penguasa tidak kehilangan arah.

Maka, siapa pun pewaris tahta mendatang. Sultan atau Ratu, harus memahami bahwa makna kekuasaan dalam tradisi Mataram bukan untuk menguasai, tetapi untuk melayani. Tahta adalah amanah spiritual, bukan sekadar warisan darah.

Jika kelak Yogyakarta benar-benar dipimpin seorang Ratu, semoga ia mewarisi bukan hanya mahkota, tetapi ruh kerakyatan yang diwariskan Sultan HB IX dan para leluhur Mataram. Sebab, wahyu sejati tidak turun kepada siapa yang paling berkuasa, melainkan kepada siapa yang paling tulus mengabdi.

Yogyakarta akan tetap istimewa bukan karena gelar dan darah biru, melainkan karena pemimpinnya adil dan rakyatnya sejahtera. Wahyu kedaton sejati adalah keberpihakan pada kemanusiaan. Ketika keadilan ditegakkan, rakyat akan percaya bahwa amanah Mataram masih hidup, bukan sebagai mitos masa lalu, tetapi sebagai etika masa depan.

Dalam pandangan filsafat Jawa, pemimpin yang kehilangan kasih rakyatnya sejatinya telah kehilangan wahyu, meski mahkota masih di kepalanya.

Maka, siapapun yang kelak bertahta, hendaknya mengingat pesan abadi leluhur: hamemayu hayuning bawana, menebar cahaya kebaikan, menjaga keseimbangan dunia, dan memuliakan martabat manusia.

  • Penulis, Yuliantoro, pemerhati budaya dan politik, alumnus Sosiologi UGM

No More Posts Available.

No more pages to load.