- ”Apakah masyarakat akan dibiarkan hanya akan terus menerima polesan wajah yang cantik di mata, tetapi menyesakkan dalam setiap denyutnya?”
SOEMITRO Djojohadikusumo dalam bukunya Kredit Rakyat di Masa Depresi pernah menegaskan bahwa keuangan bukan sekadar angka di atas kertas. Ia adalah instrumen untuk menjaga keberlangsungan hidup sosial, senjata agar rakyat kecil tetap bertahan di tengah krisis.
Bagi Soemitro, kredit rakyat adalah perisai dari keputusasaan dan ketimpangan. Pesan itu sederhana namun kuat: sistem keuangan harus melayani rakyat, bukan mengasingkan diri di menara gading.
Sayangnya, tiga raksasa keuangan Indonesia yakni Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), telah jauh melenceng dari visi tersebut. Mereka sibuk merias wajah, sementara kepercayaan publik terhadap sistem terus terkikis. Presiden tidak boleh diam.
Kebijakan Semu
Bank Indonesia bersembunyi di balik kata ”independensi” sambil berpegang pada mandat tunggal, menjaga inflasi. Bagi negara berkembang, fokus pada inflasi semata terlalu sempit. Operasi pasar yang dilakukan pun kerap hanya tampak seperti bedak tipis sebelum asesmen, bukan solusi struktural.
Transmisi kebijakan moneter berjalan lamban. Saat negara lain agresif menurunkan suku bunga, BI justru berhati-hati berlebihan. Akibatnya, jumlah uang beredar Indonesia hanya 41,6 persen PDB pada 2024, jauh tertinggal dari negara ASEAN yang di atas 100 persen. Ekonomi kita dipaksa berjalan dengan setengah tenaga.
Velocity of money hanya 2,1 kali, membuat pendapatan per kapita efektif sekitar Rp 32 juta jauh di bawah angka resmi Rp 78,62 juta (rasio gini sisi pendapatan: 0,407), tapi KPI BI tetap terpaku pada inflasi.
Dibandingkan dengan The Fed yang juga wajib menjaga tenaga kerja, BI justru tampak puas dengan angka di atas kertas meski ekonomi riil megap-megap.
Lebih parah lagi, BI tak banyak berbuat menghadapi kritik publik atas program CSR, independensi tidak boleh disamakan dengan imunitas. Revisi UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan harus memperluas KPI BI yakni kredit produktif, penciptaan lapangan kerja, dan rasio M2 terhadap PDB, disertai pengawasan eksternal BPK–Ombudsman–DPR.
Kredibilitas Pengawasan
Jika BI bermasalah pada mandat, OJK masih bermasalah pada kredibilitas. Lembaga ini dibentuk untuk melindungi investor dan konsumen, tetapi praktiknya penuh kebocoran. Emiten bodong lolos, skandal asuransi seperti Jiwasraya dan Wanaartha menghantam nasabah, dan kasus E-Fishery menelanjangi kelemahan pengawasan.
Pasar modal pun tak menggembirakan. Setelah 18 tahun, jumlah SID baru 18 juta, dengan kapitalisasi Rp 13.700 triliun. Sementara itu, investor kripto yang berjalan di luar pengawasan OJK sudah mencapai 16,5 juta dengan transaksi Rp 52,46 triliun (Juli 2025). Fakta ini jelas, publik lebih percaya pada aset digital nonkonvensional ketimbang pasar modal konvensional.
Namun OJK masih sibuk dengan seminar dan kampanye formalitas. Padahal, kepercayaan hanya bisa dibangun dengan pengawasan ketat dan penindakan tegas. Presiden harus menuntut KPI baru bagi OJK, bukan sekadar jumlah emiten, melainkan kualitas tata kelola, perlindungan investor, dan tindakan nyata.
Tabungan Publik
Lembaga Penjamin Simpanan seharusnya menjadi jangkar ketenangan publik. Namun data menunjukkan hal sebaliknya, tabungan di bawah Rp 100 juta anjlok dari 3,1 juta (2018) menjadi 1,7 juta (2025). Tabungan Rp 2–5 miliar naik dari 3,131 juta menjadi 3,197 juta. Tabungan di atas Rp 5 miliar melonjak dari 27 juta menjadi 34,216 juta.
Rakyat kecil makin tersisih, sementara kelompok kaya semakin kokoh. Mantan Ketua DK LPS yang kini jadi Menteri Keuangan bahkan berdalih lembaga ini ”terlalu kecil” untuk bersuara di hadapan BI dan Kemenkeu dalam KSSK, alasan yang memalukan.
Lebih buruk lagi, Ketua DK LPS baru justru akan menghabiskan anggaran untuk menaikkan jumlah pengikut media sosial. Alih-alih membangun kepercayaan publik seperti FDIC di AS pada era Great Depression, LPS di Indonesia masih menjadi bahan olok-olok.
Institusi BI, OJK, dan LPS kini sama-sama terjebak pada obsesi citra, bukan substansi. Semua ini berbahaya, tanpa kepercayaan, kebijakan moneter kehilangan legitimasi, pasar modal stagnasi investor, dan simpanan rakyat kecil makin terkikis.
Presiden harus bertindak. Revisi UU P2SK tidak boleh sekadar kosmetik, tetapi harus menjadi guncangan sistemik. Bank Indonesia harus dipaksa menyentuh sektor riil, OJK dapat dikembalikan ke rel awalnya, dan LPS harus menjadi penjamin kepercayaan, bukan penonton.
- Penulis, Jonathan Ersten Herawan, Mahasiswa Prodi MET Unika Atmajaya Jakarta