- Batik merupakan salah satu warisan budaya Indonesia yang sarat nilai filosofi serta memiliki keterkaitan erat dengan identitas nasional.
- Perlu strategi dan kebijakan mendorong industrialisasi batik dalam dinamika busana modern.
- Integrasi antara kearifan lokal dan teknologi digital akan menjadi kunci keberlanjutan batik di era modern.
JOGJA, bisnisjogja.id – Batik bukan sekadar tekstil, melainkan karya seni dan ekspresi jiwa. Oleh karena itu, perlu upaya pelestarian motif batik sebagai warisan budaya.
Gusti Kanjeng Bendoro Raden Ayu Adipati Paku Alam atau akrab disapa Gusti Putri menyampaikan itu dalam Workshop UMKM Class Series #32, program Direktorat Pengabdian kepada Masyarakat (DPkM) yang bertajuk ”Mempertahankan Motif Batik Klasik dengan Teknologi” di ruang Multimedia, Gedung Pusat UGM.
Ia mengungkapkan, batik merupakan salah satu warisan budaya Indonesia yang sarat nilai filosofi serta memiliki keterkaitan erat dengan identitas nasional.
”Ada empat kategori utama motif batik yang ada di DIY, yakni motif Parang dan Lereng, Ceplok dan Kawung, Semen dan Lumbungan, serta motif batik Nitik,” tutur Gusti Putri.
Sebagai seorang pembatik sekaligus pelestari budaya, ia sering menciptakan batik berdasarkan naskah-naskah kuno leluhur Pura Pakualaman. Ia juga membuat batik sendiri ketika ada acara seperti pernikahan anak-anaknya.
”Misalnya batik bertema Batara Suryo yang menggambarkan matahari dan simbol kepemimpinan yang memberi terang bagi rakyat. Selain itu, ada pula batik Batara Indra, yang melambangkan kebijaksanaan dan pendidikan,” paparnya.
Dorong Industrialisasi
Dosen Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik UGM, sekaligus penggagas Jogja Heritage Society, Dr Laretna Trisnantari Adhisakti, menggagas perlu ada strategi dan kebijakan mendorong industrialisasi batik dalam dinamika busana modern.
Menurutnya pemerintah dan dunia pendidikan khususnya kampus perlu melakukan penguatan peran UMKM dan dukungan akademisi dalam mendorong pelestarian batik.
”Sebagai akademisi, kami telah mengembangkan kurikulum summer course bertema praktik batik yang diikuti peserta dari seluruh dunia,” imbuh Laretna.
Ia juga membahas peran teknologi dalam konteks pelestarian. Teknologi bisa menjadi ancaman bila tidak sesuai dengan karakter lokal, namun juga bisa menjadi peluang bila dimanfaatkan dengan tepat. Dalam world heritage sites, penggunaan teknologi perlu disesuaikan lagi dengan konteks lokal agar tidak merusak nilai warisan.
Cara Modern
Andi Sudiarso PhD dari Departemen teknik Mesin dan Industri Fakultas Teknik UGM menambahkan pemanfaatan teknologi proses membatik bukan untuk menggantikan proses manual, melainkan melengkapi dan meningkatkan efisiensi produksi batik tanpa menghilangkan nilai tradisionalnya.
”Membatik bisa dilakukan dengan cara modern tanpa meninggalkan nilai budaya. Justru dengan teknologi, batik dapat berkembang dan dikenal lebih luas,” tandasnya.
Ia menekankan, integrasi antara kearifan lokal dan teknologi digital akan menjadi kunci keberlanjutan batik di era modern. Melalui usaha batik miliknya yakni Batik Budimo, ia juga telah mengembangkan sistem Smart Factory Batik 4.0 yang memungkinkan kolaborasi global dalam desain batik, sementara proses pembuatannya tetap terpusat di Indonesia.





