The Nuclear Question

oleh -213 Dilihat
Jonathan Ersten Herawan.(Foto: istimewa)

ADALAH suatu kebingungan jika kita menganggap bahwa penggunaan bahan bakar yang hemat setara dengan pengurangan konsumsi. Kenyataannya justru sebaliknya”.

Pada tahun 1865, Paradoks Jevons berhasil mengatasi kekhawatiran Inggris akan berkurangnya cadangan batu bara dengan cepat, namun beberapa pihak berpendapat bahwa perbaikan teknologi akan mengurangi konsumsi batu bara.

Pertanyaan batu bara menyoroti bagaimana penggunaan energi yang efisien tidak serta merta mengurangi konsumsi total, namun sebenarnya dapat meningkatkan permintaan secara keseluruhan, sebuah fenomena yang sekarang dikenal sebagai Paradoks Jevons.

Jevon Paradoks

Dalam konteks modern, transisi ke energi ramah lingkungan, seperti tenaga surya dan angin, sering menghadapi paradoks serupa. Negara-negara Uni Eropa secara agresif mempromosikan energi bersih namun menghadapi lonjakan permintaan energi yang pada akhirnya memaksa mereka untuk kembali menggunakan batu bara.

Fenomena tersebut terjadi pada tahun 2022 akibat ketegangan geopolitik antara Rusia dan Ukraina yang mengakibatkan Jerman, salah satu pionir Energiewende terpaksa mengaktifkan kembali pembangkit listrik berbasis batubara untuk menjaga pasokan energi dalam negeri.

Ironisnya, di tengah maraknya penggunaan energi konvensional di Eropa, mereka menerapkan aturan perdagangan yang ketat mengenai standar energi dan lingkungan. Aturan ini sering dijadikan penghalang terhadap produk-produk dari negara berkembang seperti Indonesia yang dinilai belum memenuhi standar ramah lingkungan.

Padahal upaya Indonesia untuk mengikuti agenda net zero emisi sudah cukup maju dibandingkan negara berkembang lainnya. Dalam konteks ini, strategi proteksionisme ekonomi yang terselubung sering menghambat perdagangan global, meskipun strategi tersebut secara retoris dipromosikan sebagai kebijakan keberlanjutan.

Net Zero Emissions

Dalam konteks The Coal Question, terdapat kekhawatiran bahwa efisiensi teknologi pembangkit listrik berbasis batubara, seperti teknologi ultra-supercritical, hanya akan memperpanjang umur batubara tanpa mengurangi emisi secara signifikan.

Di sisi lain, ketergantungan terhadap sumber energi fosil yang murah juga dapat memperlambat adopsi energi terbarukan jika tidak dibarengi dengan insentif yang memadai.

Di Indonesia, batu bara tidak hanya menjadi sumber energi utama tetapi juga penghasil devisa terbesar melalui ekspor.

Dengan lebih dari 60 persen pembangkit listrik Indonesia berbasis batu bara, transisi ke energi terbarukan menghadapi hambatan besar dalam hal pendanaan, infrastruktur, dan teknologi sesuai dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG’s) yang menyelaraskan kepentingan manusia, planet, dan keuntungan.

The Nuclear Question

Banyak ahli berpendapat energi nuklir merupakan pilihan sumber energi terbersih dan termurah dalam jangka panjang dibandingkan dengan sumber energi lainnya. Oleh karena itu, Indonesia harus mempertanyakan apakah diversifikasi sumber energi yang dilakukan saat ini sudah tepat dan menjawab kebutuhan dan ketahanan energi Indonesia.

Potensi besar seperti tenaga panas bumi, tenaga surya dan angin perlu dieksploitasi dengan insentif fiskal dan regulasi yang mendukung namun hal ini merupakan strategi yang harus dilakukan dalam jangka pendek dan menengah.

Namun demikian, The Coal Question mengingatkan kita bahwa peningkatan efisiensi energi bersih harus dilakukan, diimbangi dengan pengendalian total konsumsi agar tidak memicu peningkatan permintaan yang berlebihan.

Pertanyaan Batubara 2.0, yang akan menjadi tantangan dan permasalahan jangka panjang pada tahun 2030, akan berkembang menjadi Pertanyaan Nuklir. Pertanyaan ini akan menjadi mendasar karena energi nuklir dapat menjadi solusi jangka panjang dengan kapasitas besar dan rendah emisi.

Dengan pengembangan teknologi reaktor modular kecil, tantangan seperti penerimaan masyarakat dan biaya tinggi dapat diminimalkan.

Ketahanan Energi

Dana ketahanan energi yang dibentuk berdasarkan kerangka The Coal Question harus mempertimbangkan efisiensi ekonomi dan dampak lingkungan.

Dana tersebut dapat bersumber dari pajak karbon yang berguna dalam mendorong pengurangan emisi, pengalihan subsidi batubara dan pengenaan pajak batubara untuk melakukan transisi energi, penghapusan subsidi bahan bakar, penerapan diskriminasi harga listrik dan produk turunannya dan kontribusi dari sektor energi terbarukan. Ini diberikan melalui skema berbasis insentif.

Skema penerapan EBT PLN tersebut seperti panel surya masih sulit dan mahal karena mempertimbangkan potensi penurunan pendapatan PLN.

Berbagai penggalangan dana yang diperoleh sebelumnya sebenarnya dapat dilakukan untuk menjawab ”The Nuclear Question” yaitu dengan membiayai litbang energi baru khususnya nuklir, perbaikan infrastruktur EBT khususnya smart grid, dan pelatihan sumber daya manusia yang mendukung transisi energi hijau untuk menjamin keberlangsungan energi stabilitas pasokan energi dalam jangka panjang.

  • Penulis, Jonathan Ersten Herawan, Junior Analyst PP ISEI & Wakakomtap II Kajian Kebijakan Publik Kadin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.