JOGJA, bisnisjogja.id – Indonesia memasuki masa penentuan sepuluh tahun ke depan. Pakar ritel dan perilaku konsumen Yongky Surya Susilo meminta komunitas bisnis seperti Kamajaya Business Club (KBC) yang merupakan divisi dari Keluarga Alumni Universitas Atma Jaya Yogyakarta (Kamajaya), berperan aktif mendorong reformasi daya beli dan penciptaan lapangan kerja di tengah melemahnya konsumsi masyarakat.
Periode 2025–2035, menurutnya, akan menjadi ”Dekade Kritis” yang menentukan apakah Indonesia mampu menjadi negara maju atau justru menua sebelum kaya (getting old before getting rich).
”Jendela bonus demografi akan mencapai titik balik sekitar 2030–2040. Kalau tidak dimanfaatkan untuk menaikkan produktivitas dan inovasi, pertumbuhan akan melambat,” ujar Yongky.
Ia mengungkapkan itu dalam forum ”Beyond Tomorrow: Strategi Tetap Bertumbuh dalam Pergolakan Ekonomi dan Prediksi Perekonomian ke Depan”, yang digelar oleh Kamajaya Business Club (KBC) di Nara Kupu Yogyakarta, Sabtu (11/10/2025).
Ketua KBC Fransiscus Go, pendiri GMT Property Management dan pemilik Nara Kupu Group, menegaskan pentingnya peran alumni Atma Jaya memperkuat struktur ekonomi riil.
”Kita tidak bisa menunggu kebijakan pemerintah. Kelas menengah hanya bisa bertahan kalau kita berkolaborasi menciptakan peluang,” ujarnya.
Sangat Dinamis
Menurut Frans, lanskap bisnis 2025 sangat dinamis, dipengaruhi teknologi digital, perubahan perilaku konsumen, kebijakan pemerintah, serta tren global seperti ekonomi hijau dan ekonomi kreatif.
Ia menyebut sektor-sektor yang paling prospektif meliputi UMKM digital, bisnis berbasis keberlanjutan, pendidikan digital, layanan kesehatan terpadu, hospitality & wellness lokal, F&B, fintech & microfinance, ekonomi kreatif dan karakter lokal, properti & smart living, serta AI & otomasi.
Yongky Susilo, yang juga Consumer & Retail Strategist serta Board Expert HIPPINDO, menyoroti gejala melemahnya konsumsi rumah tangga, mesin utama ekonomi Indonesia.
Data FMCG kuartal II menunjukkan pertumbuhan hanya satu persen secara nilai namun turun tiga persen secara volume, menandakan konsumen membeli lebih sedikit dan lebih jarang.
”Fenomena trading down makin nyata. Konsumen beralih ke merek lebih murah, kemasan lebih kecil, dan frekuensi belanja menurun,” jelasnya.
Yongky juga mengungkapkan hasil surveinya bahwa tabungan rumah tangga kelas menengah-bawah kini kian menipis. Data perbankan menunjukkan saldo tabungan kelompok kecil stagnan bahkan menurun dibanding sebelum pandemi.
Hal itu menandakan banyak keluarga hidup dari pendapatan ke pendapatan tanpa ruang menabung di tengah kenaikan biaya hidup dan inflasi pangan. Ia menilai situasi ini menggerus daya beli dan menekan pertumbuhan konsumsi.