- Potensi pelanggaran dalam kebijakan karbon semakin mengkhawatirkan seiring berkembangnya perdagangan karbon nasional.
- Penguatan pengawasan pemerintah menjadi hal mendesak untuk mencegah semakin meluasnya pelanggaran.
JOGJA, bisnisjogja.id – Pasar karbon Indonesia saat ini berada pada fase yang sangat rentan. Karakter kredit karbon yang tidak berwujud menyebabkan banyak pihak, termasuk regulator, kesulitan menilai kualitasnya.
Harga karbon domestik yang terlalu rendah memperbesar potensi pelanggaran. Pada uji coba perdagangan karbon di sektor energi, harga karbon sekitar Rp 30.000 per ton CO2, jauh di bawah standar harga global.
Kepala Prodi Magister Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof Endah Saptutyningsih mengungkapkan kondisi tersebut saat melihat dinamika pasar karbon.
”Harga yang rendah menjadikan insentif tidak sehat. Aktivitas tetap bisa diklaim patuh di atas kertas, tetapi tidak memotivasi investasi rendah karbon. Situasi seperti ini sangat rentan melahirkan greenwashing,” tandas Endah, Rabu (19/11/2025).
Pada situasi seperti itu, ia menilai potensi pelanggaran dalam kebijakan karbon semakin mengkhawatirkan seiring berkembangnya perdagangan karbon nasional.
Manipulasi data emisi, kredit karbon palsu, hingga praktik greenwashing merupakan ancaman serius bagi integritas pasar karbon Indonesia.
Kejahatan Karbon
Menurut Endah, kejahatan karbon bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga masalah ekonomi yang dapat menggagalkan tujuan penurunan emisi.
”Kejahatan karbon itu memanipulasi pasar karbon agar seolah-olah emisi sudah dibayar. Padahal eksternalitas negatif tetap ada. Pelanggaran tersebut menciptakan kegagalan pasar berlapis karena emisi tetap tinggi, sementara instrumen keuangan berbasis karbon kehilangan kredibilitas,”paparnya.
Karena itu ia menegaskan, penguatan pengawasan pemerintah menjadi hal mendesak untuk mencegah semakin meluasnya pelanggaran. Ia mengapresiasi hadirnya Perpres No 98/2021 sebagai payung hukum nilai ekonomi karbon (NEK), tetapi implementasinya masih membutuhkan kolaborasi lintas lembaga.
Pengawasan pasar karbon tidak bisa hanya ditumpukan pada KLHK. Unit karbon pada dasarnya instrumen keuangan, sehingga harus tunduk pada aturan OJK, PPATK, termasuk regulasi Anti-Money Laundering.
”Pemerintah perlu memastikan metodologi baseline yang konservatif, verifikasi independen yang kredibel, serta penindakan hukum untuk kasus manipulasi pengukuran. Penting pula standar keamanan siber yang kuat untuk mencegah sabotase data dan registri,” tegas Endah.





