Setahun Prabowonomics

oleh -45 Dilihat
Jonathan Ersten Herawan.(Foto: istimewa)

 

  • Pertumbuhan masih bertumpu pada ekspansi korporasi besar dan aktivitas investasi eksternal, bukan dari peningkatan daya beli rakyat. Program sosial yang melimpah belum menetes menjadi kesejahteraan nyata.
  • Setahun Pemerintahan Prabowo–Gibran menunjukkan bahwa stabilitas makro harusnya bukan sebagai jangkar pertumbuhan, namun kesejahteraan tingkat mikrolah yang harus menjadi prioritas pembangunan.

 

SETAHUN memimpin, Pemerintahan Prabowo–Gibran menorehkan catatan makro yang tampak stabil. Kemiskinan tercatat 8,47 persen , pengangguran 4,76 persen, dan inflasi terkendali di 2,5 ± 1 persen.

Cadangan beras nasional 4,2 juta ton menjaga kepercayaan publik, meskipun inflasi pangan tetap tinggi akibat rantai pasok dan distribusi yang tidak efisien.

Pemerintah juga memperkenalkan program unggulan, Sekolah Rakyat, Danantara sebagai lembaga investasi strategis nasional, Koperasi Merah Putih yang mengintegrasikan koperasi desa, dan Makan Bergizi Gratis (MBG) bagi siswa.

Kondisi itu menunjukkan bahwa pertumbuhan masih bertumpu pada ekspansi korporasi besar dan aktivitas investasi eksternal, bukan dari peningkatan daya beli rakyat. Program sosial yang melimpah belum menetes menjadi kesejahteraan nyata.

Tak Menyentuh

Di tingkat bawah, daya beli tetap tertekan. Fenomena ”Rohana dan Rojali”( The Lipstick Effect) menandakan kelas menengah yang menahan konsumsi besar namun mencari pelarian kecil agar tetap ”waras”. Mereka dianggap layak untuk bansos, tapi tak cukup mapan untuk menikmati hasil investasi.

Data tabungan menunjukkan simpanan kecil di bawah Rp 100 juta turun, sementara simpanan miliaran rupiah meningkat tajam.

Kesenjangan tersebut menuntut reformasi cara mengukur ekonomi nasional. Garis kemiskinan perlu disesuaikan ke US$ 2,15 PPP, pekerja kurang dari 35 jam per minggu harus dikategorikan setengah pengangguran, dan rasio gini berbasis pendapatan harus dihitung tanpa memasukkan bantuan sosial agar hasilnya lebih objektif.

Pasar Cemas

Kerusuhan sosial di akhir Agustus mengguncang bukan hanya jalanan, tapi juga pasar keuangan. Indeks Hatrga Saham Gabungan anjlok dua persen, investor asing melakukan net sell di SBN, dan rupiah bertahan hanya berkat intervensi Bank Indonesia. Bagi investor, keresahan sosial telah menjadi risiko fundamental, meski angka ekonomi tampak solid.

Dari luar negeri, Indonesia berupaya memperkuat posisi globalnya dengan bergabung ke BRICS, menandatangani IEU–CEPA dan IC–CEPA, serta mempertahankan kerja sama strategis dengan AS dan ASEAN.

Namun manfaatnya baru terasa di tataran diplomasi, belum di lapangan industri. Produktivitas domestik masih tertinggal, dan ketergantungan impor bahan baku tetap tinggi.

Politik Anggaran

Dalam APBN 2026, belanja pemerintah naik 16,1 persen, sementara belanja Kementerian melonjak 29,15 persen. Ironisnya, transfer ke daerah menurun, memaksa banyak pemerintah daerah menutup defisit dengan menaikkan pajak lokal.

Prioritas belanja masih didominasi program sosial: pendidikan Rp 757,8 triliun, MBG Rp 335 triliun, kesehatan Rp 244 triliun, pangan Rp 164,4 triliun, dan energi Rp 402,4 triliun namun program penciptaan pendapatan langsung seperti padat karya dan insentif industri masih lemah.

Disiplin fiskal harus dipulihkan, rasio pembayaran utang (DSR) berpotensi mencapai 48,5 persen pada 2026, melampaui batas aman. Pemerintah perlu mengoptimalkan Sisa Anggaran Lebih (SAL), dana abadi, dan kemitraan publik-swasta lewat Danantara, bukan menambah utang baru.

Black Swan

Guna mencegah munculnya ”black swan” sosial-ekonomi, pemerintah perlu segera mengalihkan fokus kebijakan pada penguatan ekonomi rakyat. Langkah utama adalah menurunkan PPN menjadi delapan persen dan menghapus PPN atas barang intermediate untuk mendorong konsumsi.

Selanjutnya, memperluas program padat karya dan BLT bagi 60 persen rumah tangga terbawah dengan prioritas pada infrastruktur dasar seperti jalan desa, irigasi, dan sanitasi agar uang berputar langsung di ekonomi lokal.

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) perlu direformulasi dalam sistem voucher atau bantuan tunai kepada ibu penerima manfaat, sehingga gizi anak terjaga sekaligus memberdayakan UMKM lokal.

Pemerintah juga harus memperkuat Sekolah Rakyat dan menghapus sistem zonasi agar akses pendidikan lebih merata, sambil memberi insentif bagi guru di daerah 3T.

Danantara harus fokus untuk investasi dalam negeri di sektor riil melalui sistem close-loop bersama Koperasi Merah Putih, BUMN, dan koperasi lokal bukannya melakukan intervensi di pasar keuangan apalagi SBN.

Kesejahteraan

Setahun Pemerintahan Prabowo–Gibran menunjukkan bahwa stabilitas makro seharusnya bukan sebagai jangkar pertumbuhan, namun kesejahteraan tingkat mikro harus menjadi prioritas pembangunan.

Visi pertumbuhan membumi (grounded growth) harus berakar pada empati, data akurat, dan kebijakan inklusif. Pertumbuhan sejati bukan sekadar angka PDB, melainkan kemampuan negara mengubah kebijakan menjadi rasa aman dan cukup di meja makan rakyatnya.

Tanpa itu, Indonesia berisiko menghadapi black swan berikutnya bukan karena kejutan dunia, tetapi karena kelalaian kolektif dalam memahami makna kesejahteraan (government failure).

  • Penulis, Jonathan Ersten Herawan, Analis Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.