- Indonesia mengalami gelombang ketidakpuasan atau popular discontent akibat berbagai kesenjangan.
- Aksi protes besar-besaran yang terjadi di Indonesia merupakan bagian dari gagalnya pemerintah dalam merumuskan kebijakan publik.
JOGJA, bisnisjogja.id – Ketidakpuasan masyarakat terakumulasi dalam aksi demonstrasi yang terjadi hampir serentak di berbagai kota di Indonesia beberapa waktu lalu. Selain kondisi ekonomi yang tidak baik, kesenjangan sosial juga menjadi pemantik ketidakpuasan.
Sosiolog UGM, Fina Itriyati PhD menyoroti kondisi tersebut. Ia memperlihatkan data dari Skor Indeks Demokrasi secara konsisten mengalami penurunan berdasarkan hasil laporan lembaga riset dan analisis, The Economist Intelligence Unit (EIU) yang berpusat di London, Inggris.
Pada 2021, Indonesia berada di peringkat ke-52. Di tahun-tahun berikutnya turun ke posisi 54 (2022) dan posisi 56 (2023). Pada tahun 2024 turun ke peringkat ke-59. Skor indeks demokrasi Indonesia tercatat cuma di angka 6,44 dari skala tertinggi 10.
”Indonesia pernah dipuji sebagai model politik yang paling sukses di Asia Tenggara pasca reformasi. Namun, sekarang ini di tahun kedua pemerintahan Presiden Prabowo negara mengalami gelombang ketidakpuasan atau popular discontent,” papar Fina dalam kuliah umum ”Masa Depan Demokrasi di Popular Discontent” di Fisipol UGM.
Kesenjangan Sosial
Guru besar University of Melbourne, Prof Vedi Hadiz pada kesempatan itu mengungkapkan demokrasi tidak bisa bekerja dalam kondisi kesenjangan sosial seperti yang sekarang dialami oleh Indonesia.
”Dalam keadaan saat ini, apa yang kita harapkan dari demokrasi yang tidak akan berjalan sebagaimana yang kita harapkan?” ujarnya.
Ia mengatakan ekspektasi masyarakat tentang demokrasi merepresentasikan kepentingan. Adapun ketidakpuasan rakyat Indonesia terhadap demokrasi atau popular discontent memiliki korelasi langsung dengan perkembangan ekonomi global atau neoliberalisasi global.
Pasalnya, neoliberalisasi global membuat dunia semakin terhubung sekaligus memperparah kesenjangan ekonomi.
Vidi memberi contoh data negara seperti Tiongkok dan AS yang memiliki kekayaan material produksi, namun kesenjangan sosial di masyarakatnya tetap besar.
Menurut Vidi di Indonesia pun mengalami peningkatan kesenjangan sosial yang persoalannya terdapat pada kurang memadainya instrumen yang digunakan untuk menangkap persoalan tersebut.
”Menurut saya, instrumen-instrumen yang kita gunakan untuk menangkap itu, tidak memadai. Jadi yang biasa dipakai adalah Gini Ratio, menunjukkan bahwa Indonesia memang semakin tidak merata,” tandasnya.
Ia menilai aksi protes besar-besaran yang terjadi di Indonesia merupakan bagian dari gagalnya pemerintah dalam merumuskan kebijakan publik. Jika dilihat kondisi saat ini, kebijakan yang seharusnya mewakili kepentingan masyarakat luas, justru lebih kerap mewakili kepentingan kelompok kaya atau penguasa modal.