JOGJA, bisnisjogja.id – Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi belanja negara dalam pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025.
Poin pokok dari arahan Inpres tersebut, yaitu penetapan target efisiensi anggaran sebesar Rp 306,69 triliun, terdiri atas Rp 256,1 triliun dari anggaran kementerian/lembaga, Rp 50,59 triliun dari transfer ke daerah.
Pembatasan belanja non-prioritas juga diterapkan. Menteri, gubernur, bupati, dan wali kota diminta untuk membatasi belanja seremonial, studi banding, dan perjalanan dinas, dengan pengurangan perjalanan dinas hingga 50 persen.
Efisiensi juga menyasar belanja honorarium serta kegiatan pendukung yang tidak memiliki output terukur juga dibatasi.
”Pemerintah satu sisi ingin mempercepat pembangunan pariwisata lewat revisi UU Pariwisata, tapi di sisi lain membatasi perputaran ekonomi pariwisata secara nyata melalui pemotongan belanja negara,” jelas Ketua GIPI DIY, Bobby Ardiyanto SA.
Ia menyampaikan itu dalam forum diskusi di Kantor Dewan Perwakilan Daerah (DPD) DIY. Menurut Bobby, pelaku usaha mikro, hotel daerah, restoran, dan travel agent paling terdampak, dari sisi kebijakan strategis dan dari sisi ekonomi langsung.
Dampak Nyata
Beberapa dampak nyata dari Inpres No 1 Tahun 2025 bagi aktivitas pariwisata di daerah antara lain, pertama penurunan pendapatan pelaku usaha pariwisata.
Kedua, timbulnya pengurangan jam kerja dan pemutusan hubungan kerja (PHK). Ketiga risiko keuangan termasuk gagal bayar ke pihak lain, termasuk perbankan.
”Setidaknya terdapat tiga dampak negatif bagi pelaku usaha pariwisata,” tegas Bobby yang juga pengurus ISEI Cabang Yogyakarta.
Menurutnya, Yogyakarta dan DIY merupakan salah satu tempat tujuan MICE dan kebijakan efisiensi anggaran pemerintah berdampak nyata terhadap pendapatan pelaku usaha MICE.
Seperti diketahui, pangsa pasar MICE di Yogyakarat selama ini didominasi sekitar 60 persen oleh aktivitas MICE yang dilakukan oleh pemerintah, baik kementerian/lembaga dan pemda kabupaten/kota.
Selanjutnya Bobby menjelaskan bahwa sampai akhir bulan Maret 2025, sudah terjadi pembatalan reservasi hotel untuk kegiatan MICE dan sejenisnya. Kondisi ini tentu juga akan berdampak pada pelaku usaha yang memasok industri perhotelan.
”Dalam kondisi siklus bisnis yang sedang menurun, pelaku usaha pariwisata harus mengoptimalkan potensi yang masih ada,” harap Bobby pemilik beberapa jenis usaha pariwisata.
Ia mengatakan pelaku usaha Pariwisata DIY seharusnya juga belajar dari pengalaman pada saat Pandemi Covid-19. Dengan kondisi bisnis yang sedang tifak baik-baik saja, maka bertindak kreatif dan ”out of the box” menjadi solusi agar agar usaha pariwisata tetap bertahan.