Falsafah Jawa untuk Masa Depan Bisnis

oleh -24 Dilihat
Founder Pesona Cipta, Eko Prayitno SE MM.(Foto: istimewa)

 

  • Banyak perusahaan tumbuh besar, ada laba, tetapi di dalamnya terasa hampa.
  • Dalam era kompetisi global, dunia usaha tidak hanya membutuhkan pelaku yang cerdas secara teknis, tetapi juga matang secara moral.
  • Falsafah Jawa mengajarkan bahwa kekuatan terbesar bukanlah kemampuan menguasai, tetapi kemampuan mengendalikan diri.

 

DALAM berbagai forum bisnis, kata strategi sering menggema lebih lantang dibanding kata nilai. Dunia usaha bergerak cepat, kadang terlalu cepat hingga melupakan bahwa yang dikelola bukan hanya modal, pabrik, atau teknologi, tetapi juga kehidupan manusia.

Banyak perusahaan tumbuh besar, ada laba, tetapi di dalamnya terasa hampa. Di tengah pusaran globalisasi, nilai-nilai lokal yang berakar panjang dapat menjadi jangkar moral.

Falsafah Jawa, sebagaimana disampaikan oleh Franz Magnis-Suseno dalam Etika Jawa (1984), menghadirkan cara pandang yang menekankan harmoni batin dan harmoni sosial melalui kesadaran diri, pengendalian diri, dan penghormatan kepada sesama.

Ketika nilai-nilai ini diterjemahkan ke dalam praktik manajemen modern, ia menawarkan fondasi untuk membangun bisnis yang mencari keuntungan tetapi tetap memanusiakan manusia.

Urip iku Urup

Prinsip pertama, urip iku urup, mengajarkan bahwa hidup seharusnya memberi terang bagi sesama. Serat Wedhatama menegaskan bahwa tanda kehidupan bukan pada lamanya seseorang hidup, tetapi pada sejauh mana ia memberi manfaat, tandha wong urip iku migunani tumrap liyan.

Bagi dunia bisnis, nilai ini mengingatkan bahwa perusahaan tidak cukup hanya bertumbuh, ia juga harus menghidupi. Pemikiran ini sejalan dengan teori Shared Value dari Michael Porter dan Mark Kramer (2011), bahwa perusahaan justru akan menemukan peluang baru ketika memandang kesejahteraan masyarakat sebagai bagian dari model bisnis mereka.

Pertumbuhan sejati bukan sekadar grafik pendapatan yang naik, tetapi kemampuan perusahaan menyalakan kehidupan banyak orang. Bisnis yang mengabaikan manusia mungkin berkembang cepat, tetapi rapuh, sebaliknya bisnis yang menghidupi tumbuh lebih organik dan tahan terhadap krisis.

Andhap Asor

Prinsip kedua, andhap asor, memandu seorang pemimpin untuk tidak meninggikan diri. Dalam ajaran tapa ngrame, pemimpin ideal adalah sosok yang tan mikir piyambak nanging mikir sak bebrayan, tidak memikirkan dirinya sendiri, tetapi memikirkan banyak orang.

Nilai ini sangat relevan bagi kepemimpinan modern, yang telah bergeser dari gaya komando menuju kolaborasi. Penelitian Robert Greenleaf tentang servant leadership (1977) menunjukkan bahwa pemimpin yang rendah hati dan berorientasi pada pelayanan mampu menciptakan organisasi yang lebih adaptif, inovatif, dan sehat secara psikologis.

Tanpa andhap asor, perusahaan mudah terjebak dalam hierarki kaku. Orang-orang di bawah takut menyampaikan pendapat, inovasi tertahan, dan keputusan strategis justru dibuat oleh orang yang paling jauh dari kenyataan lapangan.

Dalam era perubahan yang begitu cepat, kerendahan hati bukan sekadar etika, tetapi strategi. Pemimpin harus siap belajar, siap menerima koreksi, dan siap mendengarkan. Keputusan terbaik lahir bukan dari kekuasaan tunggal, tetapi dari kecerdasan kolektif.

Ojo Dumeh

Prinsip ketiga, ojo dumeh, adalah peringatan keras agar kekuasaan tidak digunakan semena-mena. Ranggawarsita dalam Serat Kalatidha menggambarkan bahaya manusia yang kemurahan darbe nanging kurang darbe rasa, memiliki kekuasaan tetapi miskin empati.

Dalam dunia bisnis, kekuasaan dapat berupa modal besar, jaringan luas, atau posisi dominan dalam pasar. Jika tidak dikendalikan, kekuasaan dengan mudah berubah menjadi alat penindasan baik berupa menekan pemasok kecil demi margin, memaksa negosiasi tidak adil, mengorbankan keselamatan kerja demi efisiensi, atau mengambil alih pasar dengan cara-cara yang merusak.

Dalam literatur ethical capitalism (Freeman, 1984), dikatakan bahwa perusahaan yang bertindak adil dalam jangka panjang akan menikmati keuntungan reputasi, loyalitas, dan stabilitas yang tidak bisa merespons dengan boikot, pekerja bisa melakukan eksposur, dan pasar bisa menghukum.

Tepa Selira

Prinsip keempat, tepa selira, menekankan pentingnya mempertimbangkan keadaan orang lain sebelum mengambil keputusan. Dalam Serat Wulangreh, Paku Buwana IV berpesan, aja dumeh bisa, nganggoa rasa, jangan hanya mengandalkan kemampuan, tetapi gunakan kepekaan.

Empati yang dimaksud bukan kelembutan pasif, tetapi kecerdasan sosial yang menjadi fondasi kepemimpinan efektif. Studi terbaru dalam Harvard Business Review menunjukkan bahwa organisasi yang menempatkan empati pada kebijakan mereka mengalami tingkat retensi karyawan lebih tinggi dan konflik internal lebih rendah.

Dalam bisnis, tepa selira berarti mempertimbangkan dampak setiap kebijakan, apakah lembur memanusiakan? Apakah target realistis? Apakah keputusan efisiensi mengorbankan kesejahteraan? Apakah langkah ekspansi memperhatikan ekosistem sosial di sekitarnya?

Dengan tepa selira, perusahaan tidak terjebak pada paradigma ”yang penting untung”. Ia bergerak dalam kesadaran bahwa keberlanjutan jangka panjang mustahil dicapai jika ada pihak yang dikorbankan.

Etika Bisnis

Ketika empat nilai tersebut dirangkai, terbentuklah kerangka etika bisnis yang kokoh. Falsafah Jawa mengajarkan bahwa kekuatan terbesar bukanlah kemampuan menguasai, tetapi kemampuan mengendalikan diri.

Bahwa kemuliaan tidak terletak pada tingginya jabatan, tetapi pada besarnya manfaat. Bahwa keuntungan tidak harus berlawanan dengan kemanusiaan. Justru, ketika bisnis memanusiakan manusia, ia menemukan alasan keberadaannya.

Dalam era kompetisi global, dunia usaha tidak hanya membutuhkan pelaku yang cerdas secara teknis, tetapi juga matang secara moral.

Bisnis yang berpijak pada nilai budaya akan tumbuh lebih berakar, lebih organik, dan lebih langgeng. Dan pada akhirnya, perkembangan ekonomi sejati bukan sekadar angka dalam laporan tahunan tetapi kemampuan sebuah bisnis untuk menerangi kehidupan.

  • Penulis, Eko Prayitno SE MM, Founder Pesona Cipta

No More Posts Available.

No more pages to load.