Kasus Pati, Bener tapi Ora Pener

oleh -131 Dilihat
Dosen Universitas Teknologi Yogyakarta, Chairul Agus Saptono.(Foto: istimewa)

 

Kebijakan Bupati Pati menaikkan PBB P2 sudah benar/bener(jw) karena sesuai dengan amanat undang-undang terbaru yakni NJOP sebisanya didekatkan dengan nilai pasar wajar. Masalahnya, kebijakan itu menjadi tidak tepat/pener(jw) dikaitkan dengan waktunya. Selain karena kondisi ekonomi masyarakat yang sedang tidak baik-baik saja, juga mengingat kenaikan drastis ketetapan PBB P2 terjadi mendadak.

 

BERITA viral yang menggelitik belakangan ini adalah geger kenaikan drastis PBB-P2 Kabupaten Pati yang mencapai 250 persen. Kenaikan tersebut tercantum dalam Peraturan Bupati Pati No 17 Tahun 2025.

Adapun alasan dibalik kenaikan yang bombastis tersebut adalah karena PBB P2 Kabupaten Pati belum pernah disesuaikan sejak 14 tahun terakhir. Di samping itu pendapatan dari sektor PBB P2 Kabupaten Pati jauh di bawah jika dibandingkan kabupaten tetangga.

Bupati Pati berkeras melaksanakan kebijakan tersebut kendati memicu protes warga, aksi demo, bahkan viral di media sosial. Yang menjadi pertanyaan kemudian, apakah kebijakan kontroversial itu sudah benar, bener(jw) juga tepat, pener(jw)?

Seperti diketahui sebelumnya Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dikelola oleh pusat. Barulah sejak diundangkan UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU 28/2009) diamanatkan bahwa selambatnya tahun 2014 pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB) sepenuhnya dilakukan oleh kabupaten/kota.

Secara bergelombang kemudian KPP Pratama menyerahkan data base PBB P2 ke kabupaten/kota seluruh Indonesia. Artinya data base PBB P2 yang dimiliki Kabupaten/Kota adalah warisan dari pusat.

Desentralisasi Fiskal

Kini setelah lebih dari satu dasawarsa PBB P2 diserahkan daerah, diundangkanlah UU No 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintahan Pusat dengan Pemerintah Daerah.

Konsepsi dasar dari undang-undang itu yakni mewujudkan desentralisasi fiskal yang adil, transparan, akuntabel dan berkinerja. Dalam undang-undang tersebut juga tercantum bagian khusus tentang pajak daerah, PBB P2 salah satunya.

Tarif maksimum PBB P2 dalam UU baru tersebut meningkat sehingga kabupaten/kota dimungkinkan membuat tingkatan tarif yang sesuai untuk wilayahnya. Demikian halnya dengan NJOP yang menjadi basis dari perhitungan PBB P2.

Nilai Jual Objek Pajak menjadi titik krusial dalam undang-undang ini. Nilai Jual Objek Pajak adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan apabila tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.

Nilai Jual Objek Pajak yang digunakan untuk perhitungan PBB-P2 ditetapkan paling rendah 20 persen dan paling tinggi 100 persen dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak. Besaran NJOP ditetapkan oleh kepala daerah.

Warisan Pusat

Data base objek, subjek, NJOP serta peta PBB P2 yang dimiliki daerah pada dasarnya warisan dari pusat sekian tahun lalu. Karena keterbatasan SDM pengelola PBB P2, data warisan tadi banyak yang belum termutakhirkan.

Termasuk data NJOP yang meskipun amanat undang-undang mensyaratkan ditinjau setiap tiga tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu yang dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.

Namun kebanyakan kabupaten/kota tidak memiliki tenaga fungsional yang memiliki kemampuan update NJOP. Kalaupun dilakukan kenaikan NJOP sesuai amanat undang-undang biasanya dinaikkan secara incremental saja, tidak berdasar data harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar. Dalam banyak kasus cara seperti ini sering misleading/meleset.

Dalam konteks Kabupaten Pati, tampaknya data base NJOP belum pernah tersentuh pemutakhiran sejak mendapat warisan dahulu, sehingga jauh lebih rendah dari harga rata-rata transaksi jual beli yang terjadi secara wajar saat ini.

Problem tersebut bukan masalah di Kabupaten Pati saja melainkan terjadi di banyak daerah lain. Rata-rata rasio antara NJOP di data base dengan nilai pasar wajar dikisaran 30 persen atau bahkan kurang. Artinya NJOP sekarang bisa dinaikkan tiga bahkan empat kali dari NJOP yang ada dalam data base NJOP warisan KPP Pratama.

Nilai Pasar

Berdasar uraian itu, berarti kebijakan Bupati Pati menaikkan PBB P2 sudah benar/bener(jw) karena sesuai dengan amanat undang-undang terbaru yakni NJOP sebisanya didekatkan dengan nilai pasar wajar.

Masalahnya, kebijakan ini menjadi tidak tepat/pener(jw) dikaitkan dengan waktunya. Selain karena kondisi ekonomi masyarakat yang tidak baik-baik saja, juga mengingat kenaikan drastis ketetapan PBB P2 terjadi mendadak.

Semestinya jika ingin melaksanakan amanah undang-undang, mendekatkan NJOP dengan nilai pasar wajar bisa dilakukan secara teliti dan gradual.

Kenaikan ketetapan PBB P2 harus secara teliti dilihat secara relatif dan absolut. Kenaikan relatif 250 persen dari seribu rupiah secara absolut mungkin tidak memberatkan, lain perkara kalau kenaikan dari jutaan rupiah.

Dampak kenaikan PBB yang akan ditetapkan harusnya dianalisis teliti siapa yang menanggungnya. Menggunakan data base yang ada harus disimulasikan kenaikan tersebut agar tidak memberatkan utamanya masyarakat menengah bawah.

Jika akan menetapkan NJOP sesuai nilai pasar wajar, agar tidak membuat gejolak masyarakat dibutuhkan kebijakan tambahan yg mendukung. Misalnya, pemberian insentif fiskal/perpajakan berupa discount/pengurangan besaran ketetapan PBB P2 yang secara bertahap setiap tahun berkurang besarnya sampai tahun tertentu insentif tersebut dihapuskan.

Berapa lama pemberian insentif akan diberikan? Tentunya menyesuaikan kondisi ekonomi masyarakat.

Semoga kasus Pati menjadi pelajaran penting bagi pengambil kebijakan publik, utamanya terkait dengan perpajakan.

Janganlah kebijakan yang diambil hanya mempertimbangkan satu atau beberapa hal saja melainkan harus holistik.

Ingat pajak bukan hanya memiliki fungsi anggaran (budgetair) melainkan juga fungsi mengatur (regulerend), fungsi stabilitas serta fungsi retribusi pendapatan. Alih-alih ingin meningkatkan pendapatan bisa jadi justru menuai badai.

  • Penulis, Chairul Agus Saptono, Dosen Universitas Teknologi Yogyakarta, Tim PBB P2 – RDSI FEB UGM

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.