- Belajar dari praktik baik negara maju, program MBG berjalan melalui kantin sekolah. Cara itu lebih baik dibanding dengan cara atau sistem yang diterapkan di Indonesia saat ini.
- Melalui kantin sekolah, makanan akan tersaji fresh, dan menghindari basi. Dengan skala relatif kecil dan lebih terkontrol mestinya cara-cara seperti ini bisa dilakukan di Indonesia.
JOGJA, bisnisjogja.id – Kondisi terburuk menimpa ribuan siswa pada program Makan Bergizi Gratis (MBG), keracunan. Muncul banyak desakan agar pengelolaan MBG ada pada sekolah. Ini guna mencegah keracunan serta menghindari cara-cara kotor berburu rente pihak-pihak tertentu.
Belajar dari pengalaman di negara maju, Dosen FEB UGM, Prof R Agus Sartono, mengungkapkan MBG sejatinya merupakan ide bagus. Program tersebut memberikan banyak manfaat, pertama setidaknya bertujuan memperbaiki gizi anak di usia pertumbuhan melalui asupan yang cukup.
Kedua, membangun kohesi sosial karena anak mendapatkan makanan yang sama, dan harapannya akan tumbuh empati dan kepedulian sosial.
Ketiga, memberi pelajaran anak berperilaku tertib saat mengantre mengambil makanan, dan membersihkan makanan.
Keempat, anak tumbuh sikap bertanggung jawab untuk mengambil secukupnya, dan bertanggung jawab untuk tidak membuang-buang makanan.
Kelima, memberikan multiplier effect pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kesenjangan, dan keenam, terciptanya lapangan kerja serta mencegah urbanisasi.
Tantangan Implementasi
”Tantangannya pada implementasi. Persoalan muncul bukan pada ide besar, tetapi pada delivery mechanism sehingga belakangan ini muncul pandangan negatif dan berbagai kasus keracunan,” ujar Agus.
Menurutnya, implementasi program MBG dengan dana Rp 247,95 triliun jauh lebih besar dari dana desa 2025 yang sekitar Rp 71 triliun.
Sementara itu, anggaran pendidikan yang ditransfer ke daerah tahun 2025 sebesar Rp 347 triliun sehingga terdapat Rp 665,95 triliun dana berputar di daerah.
”Jumlah yang sangat besar dan diharapkan akan mendongkrak konsumsi dan menjadi pengungkit pertumbuhan ekonomi. Namun kembali ke pertanyaan awal riuhnya program MBG, persoalan muncul pada delivery mechanism,” paparnya.
Sesungguhnya sudah banyak program yang sasaran dan basisnya mengarah untuk siswa serta masyarakat tidak mampu seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), Program Keluarga Harapan (PKH) dan bantuan sosial atau bansos.
Program-program tersebut selama ini menyasar setidaknya 20 persen pada keluarga tidak mampu. Pada tahun 2010 penyaluran BOS sempat mengalami persoalan dan akhirnya didistribusikan langsung ke satuan pendidikan, dan BOS diberikan ke sekolah/madrasah/satuan pendidikan berbasis pada besar kecilnya siswa.
”Pertanyaannya, mengapa MBG yang tujuannya sangat bagus tidak menggunakan mekanisme yang sudah ada? Bukankah UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah telah mengatur bahwa pendidikan merupakan urusan konkuren dan daerah diberi kewenangan? Kabupaten/kota mengelola SD/SMP, provinsi mengelola SMK/SMA dan pendidikan berbasis agama masih di bawah Kemenag,” papar Agus.
Beri Kewenangan
Ia memberi saran ada baiknya daerah-daerah memperoleh kewenangan sesuai undang-undang, dan Badan Gizi Nasional (BGN) hanya melakukan monitoring.
Dengan cara dan pemberdayaan pemerintahan daerah, menurutnya, akan menjamin kemudahan dalam koordinasi dan tingkat keberhasilan akan jauh lebih baik.
Belajar dari praktik baik negara maju, program MBG berjalan melalui kantin sekolah. Cara itu lebih baik dibanding dengan cara atau sistem yang diterapkan di Indonesia saat ini.
”Melalui kantin sekolah, makanan akan tersaji fresh, dan menghindari basi. Dengan skala relatif kecil dan lebih terkontrol mestinya cara-cara seperti ini bisa dilakukan di Indonesia. Sekolah bersama komite sekolah saya kira mampu mengelola ini dengan baik,” tandasnya.
Ia menilai jika itu diterapkan, kebutuhan bahan baku bisa dipenuhi dari UMKM di sekitar sekolah sehingga tercipta sirkulasi ekonomi yang baik. Dengan demikian sekolah mendapatkan dana utuh sebesar Rp 15.000 per porsi, bukan seperti yang terjadi selama ini hanya sekitar Rp 7.000 per porsi.
Cegah Rente
Alternatif lain, dana bisa diberikan secara tunai kepada siswa, dan melibatkan orang tua untuk membelanjakan dan menyiapkan bekal kepada putra putrinya. Dengan cara seperti ini, BGN hanya perlu menyusun panduan teknis dan melakukan pengawasan.
Begitu pula guru di sekolah, jika ada anak yang tidak membawa bekal bisa memberi peringatan. Apabila sampai satu bulan tidak membawa bekal, sekolah bisa memanggil orang tuanya.
”Cara seperti ini saya kira tidak saja menanggulangi praktik pemburu rente, tetapi juga dipercaya akan lebih efektif. Dana dapat ditransfer langsung ke siswa setiap bulan seperti halnya KIP, atau seperti penyaluran BOS,” saran Agus.
Agus menuturkan akhir-akhir ini persoalan keracunan MBG jika dirunut sebagai akibat panjangnya rantai penyaluran. Penyaluran MBG melalui Satuan Pendidikan Pelaksana Gizi (SPPG) dinilai hanya menguntungkan pengusaha besar yang mampu.
Baginya, sungguh menyedihkan jika Rp 15.000 per porsi per anak pada akhirnya tinggal Rp 7.000 saja. Program Makan Bergizi Gratis pun menguntungkan pengusaha besar karena mereka mendapat keuntungan secara ”gratis”.
”Saya kira belum terlambat. Mari kita perpendek rantai distribusi MBG agar lebih efektif dan hilangkan cara-cara kotor memburu rente. Jadikan MBG benar-benar sebagai Makan Bergizi Gratis bagi siswa,” tegasnya.





