Menteri Keuangan Baru: Diagnosis Tepat, Strategi Diuji

oleh -68 Dilihat
Jonathan Ersten Herawan.(Foto: istimewa)

 

  • Kebijakan moneter ketat selama ini memang menjaga stabilitas rupiah, tetapi Purbaya menyebutnya melahirkan ”setan-setan” dari kebijakan yang memperlebar ketimpangan, kelompok kaya makin kaya saat krisis karena suku bunga tinggi, lalu menginfeksi perekonomian ketika pelonggaran terjadi, sementara pemulihan sektor riil tertinggal.

 

PELANTIKAN Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan memberi sedikit harapan bagi arah kebijakan ekonomi Indonesia. Dalam rapat bersama Badan Anggaran DPR, Purbaya tampil berani dengan diagnosis yang menyoroti akar permasalahan fundamental perekonomian, lemahnya otoritas moneter, ketimpangan kebijakan keuangan, serta dangkalnya pasar keuangan.

Namun, keberanian ini sekaligus memunculkan pertanyaan besar, apakah strategi yang ia tawarkan mampu menjawab tantangan tanpa menimbulkan risiko baru?

Data terbaru menunjukkan bahwa rasio uang beredar terhadap PDB Indonesia hanya 42 persen pada 2024, angka terendah di ASEAN. Kondisi ini menunjukkan bahwa sektor keuangan belum berperan optimal sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi.

Kebijakan moneter ketat selama ini memang menjaga stabilitas rupiah, tetapi Purbaya menyebutnya melahirkan ”setan-setan” dari kebijakan yang memperlebar ketimpangan, kelompok kaya makin kaya saat krisis karena suku bunga tinggi, lalu menginfeksi perekonomian ketika pelonggaran terjadi, sementara pemulihan sektor riil tertinggal.

Kritik Purbaya terhadap paradigma moneter konservatif menjadi relevan di tengah fakta bahwa likuiditas perbankan kian ketat, dengan Loan to Deposit Ratio (LDR) bank besar melampaui 90 persen. Ini mengindikasikan ruang pertumbuhan ekonomi domestik yang terbatas jika pendekatan moneter tidak direformasi secara fundamental.

Tantangan Perbankan

Purbaya juga menyoroti pentingnya mengoptimalkan Saldo Anggaran Lebih (SAL) dan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) untuk mendorong aktivitas ekonomi.

Namun, langkah ini harus diambil hati-hati mengingat Giro Wajib Minimum (GWM) perbankan tinggi, yang membuat likuiditas ketat. Injeksi fiskal tanpa koordinasi bisa menimbulkan volatilitas baru.

Secara implisit, MenKeu baru menantang perbankan agar beralih dari zona nyaman investasi di SBN, Sukuk, dan SRBI menuju penyaluran kredit produktif dengan menginjeksi dana SAL dan SILPA sebesar Rp 200 triliun.

Praktik saat ini memperbesar keuntungan bank tanpa mendorong sektor riil, sehingga dunia usaha mengalami ”mati suri”. Gagasannya untuk memperdalam pasar keuangan dengan diversifikasi instrumen pembiayaan patut diapresiasi, tetapi pelaksanaannya membutuhkan dukungan mitigasi risiko kredit macet, infrastruktur data debitur yang lebih baik, dan kebijakan insentif.

Pendekatan ini bisa menjadi langkah revolusioner yang menggerakkan ekonomi, tetapi juga berpotensi memicu risiko sistemik jika tidak disertai reformasi regulasi perbankan dan koordinasi erat antarotoritas.

Ide pembentukan Surat Keputusan Bersama (SKB) di KSSK dapat menjadi terobosan untuk menghindari ”hidden cost” akibat kebijakan fiskal dan moneter yang tidak sinkron selama ini

Kepabeanan dan Perbendaharaan

Temuan potensi kerugian negara hingga Rp 10.760 triliun selama periode 2013–2024 menjadi dasar Purbaya untuk memindahkan mekanisme pengawasan perdagangan dari post-border ke in-border.

Strategi ini akan memperkuat penerimaan negara, menekan penyelundupan, dan meningkatkan kepercayaan investor. Yang menjadi pertanyaan bagaimana DJBC, Bank Indonesia, dan BPS RI mencatat berbagai transaksi ekspor selama ini sampai ditemukan kebocoran dengan nilai yang sangat besar dalam sepuluh tahun terakhir?

Langkah lain yang tak kalah penting adalah dorongan MenKeu baru untuk mengukur kinerja Kementerian Keuangan, Badan Layanan Umum, dan Perbendaharaan Negara melalui Return on Assets (RoA) dan Return on Investment (RoI).

Transparansi dan akuntabilitas pengelolaan aset publik dapat menjadi game changer, mengingat selama ini aset negara kerap tidak dimanfaatkan secara maksimal.

Harapan dan Risiko

Tanpa mengecilkan gender, istilah yang dapat menggambarkan harapan tersebut adalah ”seorang wanita lebih berhati-hati (defensif) dalam melakukan belanja, sedangkan seorang pria lebih identik ofensif dalam melakukan belanja”.

Di tengah perlambatan belanja APBN, sebenarnya kehadiran Purbaya cukup menjadi angin segar bagi Industri, kementerian/lembaga, dan pemerintah daerah.

Purbaya dikenal sebagai sosok ekonom nyentrik, tetapi diagnosisnya tajam dan berbasis data. Ia menantang status quo yang selama ini lebih fokus menjaga stabilitas makro ketimbang mendorong pertumbuhan.

Namun, strategi yang ia usulkan penuh risiko, dorongan kredit dan pemanfaatan SAL-SILPA harus berjalan berdampingan dengan reformasi tata kelola agar tidak memicu inflasi atau instabilitas perbankan.

Keberhasilannya akan sangat bergantung pada koordinasi dengan Bank Indonesia, OJK, dan lembaga lain. Tanpa sinergi, kebijakan progresif ini bisa menimbulkan gejolak baru di pasar keuangan.

Karena itu, gaya cowboy Menkeu baiknya dilakukan secara terukur agar tidak membuka konflik lama antara koordinasi Lapangan Banteng dan Thamrin.

  • Penulis, Jonathan Ersten Herawan, Analis PP Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.