JAKARTA, bisnisjogja.id – Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Entjik S Djafar menegaskan tidak pernah ada kesepakatan antarpenyelenggara peer-to-peer (P2P) lending atau pinjaman daring (pindar), lebih dikenal sebagai pinjaman online (pinjol) dalam penetapan batas maksimum manfaat ekonomi (suku bunga) pada 2018.
Kebijakan tersebut merupakan pelaksanaan langsung atas arahan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagaimana ditegaskan melalui Surat OJK Nomor S-537/PL.122/2025 tanggal 16 Mei 2025.
Entjik menegaskan hal itu dalam kapasitasnya sebagai saksi pada sidang lanjutan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk perkara dugaan penetapan suku bunga pinjaman daring (pindar) yang berlangsung di Gedung RB Supardan, Kelapa Gading, Jakarta.
Lebih lanjut, Entjik menjelaskan bahwa OJK memberikan arahan untuk menetapkan batas maksimum manfaat ekonomi sebesar 0,8 persen per hari dengan tujuan membedakan secara tegas antara platform pindar dengan pinjaman online (pinjol) ilegal.
”Tidak ada niat atau kesepakatan antaranggota untuk menetapkan suku bunga tersebut karena secara komersial lebih menguntungkan jika tidak ada pembatasan. Pengaturan batas maksimal manfaat ekonomi tersebut justru membuat anggota harus mengorbankan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar lagi atau dengan kata lain aturan tersebut sejujurnya merugikan anggota,” papar Entjik.
Ia juga menyoroti tantangan industri pindar akibat maraknya pinjol ilegal. Berdasarkan data OJK, sejak 2017 hingga 13 Maret 2025, Satgas Pasti telah menghentikan 10.733 entitas pinjol ilegal dan pinjaman pribadi. Jumlah ini 112 kali lebih banyak dibandingkan platform pindar legal yang saat ini tercatat sebanyak 96.
Sehat dan Dinamis
Entjik juga menambahkan, setiap platform pindar menetapkan batas maksimum manfaat ekonomi yang berbeda, menyesuaikan dengan profil risiko dan karakter target pasar masing-masing, sehingga persaingan di industri tetap berjalan secara sehat dan dinamis.
Di samping itu, industri peer-to-peer lending pun bertujuan melayani masyarakat underserved dan unbanked, yang belum terjangkau oleh layanan jasa keuangan konvensional seperti bank atau multifinance, sehingga memiliki karakteristik pasar yang berbeda dari target pasar dari lembaga keuangan konvensional.
Dalam sidang bernomor Register 05/KPPU-I/2025 itu, Entjik menyampaikan bahwa AFPI saat itu ditunjuk oleh OJK untuk mengatur batas maksimum manfaat ekonomi.
Ia memaparkan saat itu OJK belum memiliki legal standing untuk mengatur, sementara peraturan yang memberikan legal standing baru diterbitkan pada 2023, yakni UU No 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan atau UU P2SK. Baru setelah terbit UU P2SK pada 2023, OJK telah memiliki kewenangan mengatur, sehingga saat ini batas maksimum manfaat ekonomi diatur langsung oleh OJK.
Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) merupakan organisasi yang mewadahi pelaku usaha Fintech Peer to Peer (P2P) Lending atau pindar di Indonesia. Lembaga itu ditunjuk OJK sebagai asosiasi resmi Penyelenggara Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) di Indonesia berdasarkan surat No S-5/D.05/2019.
Anggota AFPI terbagi dalam tiga klaster pendanaan, yaitu produktif, multiguna dan syariah. Lembaga tersebut dibentuk dari kesadaran diperlukannya perlindungan bagi para pengguna layanan fintech lending, peminjam maupun pemberi pinjaman.
AFPI memiliki portal Pengaduan JENDELA yang dapat diakses dengan menghubungi call center di 150505 (bebas pulsa) di jam kerja, Senin-Jumat pukul 08.00-17.00 WIB, juga melalui email di pengaduan@afpi.or.id dan website www.afpi.or.id.





