JOGJA, bisnisjogja.id – Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, Kota Yogyakarta menjadi daerah yang memiliki ketimpangan paling besar dengan nilai Indeks Gini sebesar 0,519 pada tahun 2022 dan 0,454 pada tahun 2023.
Ketimpangan tersebut mengindikasikan sumber daya ekonomi dalam masyarakat memiliki potensi kecil untuk dinikmati keluarga dengan tingkat pendapatan terendah. Ini mengakibatkan dampak negatif jangka panjangnya bagi pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat.
”Kami mencoba melakukan penelitian tentang implementasi ekonomi kerakyatan di Kota Yogyakarta, hubungannya dengan ketimpangan pendapatan, dan strategi penguatan untuk mencapai pemerataan ekonomi yang lebih baik,” papar mahasiswa UGM, Muhammad Nur Maulana, Senin (29/7/2024).
Ia bersama teman-temannya Muammar Ilham Hanafi Tarwaca, Aushaaf Rafif Keane Pribadi, Ilham Prasetiyo serta Laksita Balinda Anabela Darayanti tergabung dalam Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) melakukan penelitian.
Mereka menggunakan indeks ekonomi kerakyatan atau sering disebut sebagai demokrasi ekonomi, diukur menggunakan Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia (IDEI) yang terdiri atas tiga dimensi dan 21 indikator.
Hasilnya, rata-rata nilai IDEI Kota Yogyakarta dari tahun 2007 – 2022 senilai 0,5195 dari maksimum 1. Hasil ini menunjukkan bahwa implementasi ekonomi kerakyatan di Kota Yogyakarta berada pada kategori sedang.
Kurangi Ketimpangan
”Penelitian menunjukkan setiap 1 persen peningkatan nilai IDEI menurunkan 6,03 poin persen ketimpangan. Ini menunjukkan implementasi ekonomi kerakyatan dapat mengurangi ketimpangan pendapatan di Kota Yogyakarta, dengan mekanisme efek berada pada jangka menengah,” jelas Maulana.
Namun demikian, hubungan keduanya dapat hilang atau berubah pada jangka panjang karena tidak diidentifikasi adanya kointegrasi. Indeks pada kategori sedang mengatakan bahwa implementasi ekonomi kerakyatan tergolong cukup, namun belum efisien.
Tim juga menemukan ekonomi kerakyatan sebenarnya telah diterapkan sejak lama di Kota Yogyakarta tetapi belum ada langkah konkrit serta monitoring khusus dari berbagai aktor yang terlibat.
Mereka menilai terdapat peluang peningkatan pemerataan ekonomi di Kota Yogyakarta melalui penguatan ekonomi kerakyatan. Pasalnya, pendekatan PRA merupakan pendekatan yang berfokus pada pemberdayaan masyarakat untuk mengidentifikasi, merencanakan, dan mengelola pembangunan secara mandiri.
”Pada praktiknya, PRA tidak hanya menjadikan masyarakat umum sebagai objek, tetapi bagian dari pengembangan. Hal ini memberikan dampak keberlanjutan dengandaya kuat dari masyarakat,” imbuhnya.
Empat Langkah
Ilham menambahkan ada empat langkah strategi untuk mendukung ekonomi kerakyatan melalui penilaian pedesaan partisipatif (PRA). Pertama, perumusan dan pengukuran indikator ekonomi kerakyatan pada program pemerintah daerah, yang penting untuk merancang, melaksanakan, mempertanggungjawabkan, dan mengevaluasi program.
”Tanpa indikator yang jelas, pelaksanaan ekonomi kerakyatan akan menjadi tidak terarah dan sulit dievaluasi keberhasilannya,” tandasnya.
Berikutnya menyediakan ruang kolaborasi antara masyarakat, kelompok ahli, dan staf pemerintahan. Tim ini akan berperan mengembangkan dan mengimplementasikan ekonomi kerakyatan, meningkatkan pemahaman masyarakat, serta memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan program.
Ketiga, melakukan integrasi penguatan ekonomi kerakyatan melalui program desa mandiri budaya. Desa mandiri budaya merupakan program pemberdayaan masyarakat desa yang sedang digencarkan di DIY. Hal itu membuka peluang adanya implementasi ekonomi kerakyatan dari sisi koperasi, pelaku usaha, maupun konsumen.
”Langkah terakhir, mendorong kontribusi pengusaha lokal terkait dengan ekonomi kerakyatan. Penguatan ekonomi kerakyatan dapat menjadi bagian dari corporate social responsibility (CSR). Sebagai bagian dari tanggung jawab perusahaan bagi masyarakat sekitar,” papar Ilham.