- Mengapa DPR selalu gagal memenuhi standar ideal? Jawabannya kembali pada partai politik sebagai pintu masuk utama rekrutmen anggota legislatif.
- Selama parpol masih menjalankan sistem rekrutmen berbasis oligarki dan finansial, DPR akan terus dipenuhi wakil rakyat yang lebih loyal pada partai ketimbang pada konstituen.
KEPERCAYAAN publik kepada DPR RI kembali menjadi sorotan. Survei Indikator Politik Indonesia (Januari 2025) menempatkan DPR hanya di peringkat ke-10 dari 11 lembaga negara, dengan tingkat kepercayaan sekitar 69 persen.
Angka itu masih di bawah Presiden dan TNI yang melampaui 80 persen. Data Kompas (Mei 2025) juga menguatkan, kepercayaan publik pada DPR hanya 71 persen, relatif rendah dibanding lembaga lain. Sementara survei IPO mencatat DPR sebagai salah satu dari tiga lembaga dengan tingkat kepercayaan paling rendah.
Angka-angka tersebut menunjukkan satu hal, rakyat memang masih skeptis pada DPR. Publik tidak lagi tertarik dengan jargon reformasi parlemen. Mereka menunggu perubahan nyata.
Pertanyaan mendasarnya, mengapa DPR selalu gagal memenuhi standar ideal? Jawabannya kembali pada partai politik sebagai pintu masuk utama rekrutmen anggota legislatif.
Dalam praktiknya, partai politik di Indonesia lebih berfungsi sebagai kendaraan perebutan kekuasaan ketimbang sekolah politik. Rekrutmen caleg kerap ditentukan oleh kedekatan dengan elite, loyalitas, dan besarnya modal, bukan oleh kualitas gagasan, rekam jejak, atau integritas.
Biaya politik yang tinggi dalam sistem proporsional terbuka membuat hanya mereka yang mampu ”mendanai dirinya sendiri” yang bisa maju. Akibatnya, DPR periode 2024–2029 didominasi oleh kalangan pengusaha, lebih dari 60 persen menurut riset ICW. Dominasi ini berimplikasi pada potensi konflik kepentingan dalam proses legislasi.
Pengawasan Tumpul
Selain itu, minimnya kaderisasi substantif memperparah masalah. Banyak caleg yang muncul instan menjelang pemilu, tanpa pengalaman advokasi atau kerja politik jangka panjang. Begitu duduk di Senayan, mereka gagap menghadapi kompleksitas legislasi dan pengawasan.
Di sisi lain, wajah lama yang kembali mendominasi DPR sering kali larut dalam budaya kompromi dengan eksekutif, membuat fungsi pengawasan tumpul.
Kombinasi itu menghasilkan lembaga legislatif yang di atas kertas punya fungsi vital, membuat undang-undang, mengawasi pemerintah, dan menetapkan anggaran, tetapi dalam praktiknya kerap lemah dan jauh dari aspirasi rakyat. Tak heran bila citra DPR di mata publik sulit terangkat.
Namun, kritik pada DPR tidak bisa hanya berhenti di Senayan. Ia harus diarahkan pada hulu masalah, partai politik. Selama parpol masih menjalankan sistem rekrutmen berbasis oligarki dan finansial, DPR akan terus dipenuhi wakil rakyat yang lebih loyal pada partai ketimbang pada konstituen.
Reformasi parlemen hanya bisa berhasil jika diiringi dengan reformasi partai politik. Transparansi rekrutmen caleg harus ditegakkan. Kaderisasi perlu dilakukan secara berjenjang dan serius, bukan sekadar formalitas.
Tunggu Bukti
Demokrasi internal mesti diperkuat agar keputusan partai tidak hanya bergantung pada lingkar elite. Politik uang harus dilawan dengan regulasi yang ketat sekaligus pendidikan politik publik.
Publik menunggu bukti, bukan slogan. Reformasi DPR harus dimulai dengan keberanian partai menata diri. Jika partai sehat, DPR akan kuat. Jika partai rapuh, DPR hanya akan menjadi cermin dari kelemahan itu.
Di tengah krisis kepercayaan publik, momentum sekarang ini seharusnya menjadi kesempatan emas bagi partai politik untuk membuktikan diri bahwa mereka benar-benar bisa menjadi fondasi demokrasi, bukan sekadar kendaraan kekuasaan.
Rakyat tidak butuh wakil yang sekadar hadir di gedung megah Senayan. Mereka menuntut wakil yang hadir dengan akal sehat, integritas, dan keberanian memperjuangkan kepentingan publik. Dan itu hanya mungkin jika partai politik berbenah.
- Penulis, Yuliantoro, Jurnalis, Alumnus Sosiologi Fisipol UGM