Trio WaMenKeu: Gun or Butter?

oleh -491 Dilihat
Jonathan Ersten Herawan.(Foto: istimewa)

RASIO pajak Indonesia terus bergerak turun mulai dari tahun 1980 hingga saat ini hanya sebesar 10,38 persen (yoy) pada tahun 2023. Suatu posisi yang mengecewakan apalagi pada tahun sebelumnya yang hanya sebesar 9,11 persen. Rendahnya rasio pajak di Indonesia merupakan sinyal penting dari fenomena ”Dutch Disease”.

Bahkan dalam laporan BPS RI (2024), kontribusi sektor manufaktur Indonesia terhadap PDB hanya sebesar 18,9 persen, mengalami penurunan sebesar 31,76 persen (yoy). Selama dua dekade terakhir proporsi angkatan kerja informal di Indonesia dipastikan terus meningkat sebagai respon menurunnya kontribusi sektor manufaktur.

Multiplier effect dari berbagai kekurangan menyebabkan kelas menengah menyusut dari 57,33 juta pada tahun 2019 menjadi hanya 47,85 juta atau turun sebesar 17,13 persen (BPS RI, 2024). Penurunan ini didorong oleh inflasi pada kelompok makanan, minuman, bahkan tembakau yang mengalami tingkat inflasi riil sebesar 4,9 persen setiap tahunnya (LPEM UI, 2024).

Tingkatkan Pendapatan

Terpilihnya ”Trio WaMenKeu” harusnya dapat menavigasi dan berperan sebagai katalisator perekonomian nasional, terutama dalam mendayagunakan dunia usaha dan pasar tenaga kerja. Namun apabila gagal, maka mereka hanya berfungsi sebagai ”Publicanus” cuplikan dialog ”mea culpa, mea culpa, mea maxima culpa” menjadi terulang.

Tugas pertama ”Trio WaMenKeu” tidak mudah karena harus meningkatkan pendapatan negara di tengah perlambatan ekonomi. Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun 2025 kemungkinan besar akan menggerus dan memperlambat perekonomian.

Mereka harus berpikir lebih dari sekadar menaikkan tarif pajak (berburu di kebun binatang) tetapi fokus pada reformasi struktural dan administratif (berburu di hutan).

Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah menurunkan high cost dalam perekonomian 10 tahun terakhir untuk mendorong sisi supply dan demand side karena tanpa biaya yang mudah maka tidak memungkinkan terjaganya daya beli dan ekspansi bisnis.

Penerimaan Pajak

Strategi kedua, melakukan ekstensifikasi sumber penerimaan perpajakan baru dimana salah satunya adalah informal economy yang menurut World Bank (2024), nilainya mencapai 36 persen dari PDB Indonesia.

Terdapat potensi penerimaan negara sebesar Rp 500-600 triliun dari informal economy, opsi lainnya adalah penerapan berbagai skema pajak lingkungan tetapi diperlukan regulasi yang jelas dan standarisasi dari penilaian karbon.

Jurus ketiga, melakukan intensifikasi dari kepatuhan Wajib Pajak (WP) melalui reformasi struktural dengan mendirikan kantor pajak hingga tingkat kecamatan. Meskipun dapat meningkatkan biaya, hal ini akan memberikan dampak maksimal terhadap output pendapatan nasional karena petugas pajak dapat lebih mikro dan tidak hanya melakukan sampling.

Bahkan petugas pajak dapat memiliki ruang waktu yang lebih luas untuk memberikan sanksi/denda bagi WP yang mangkir.

Sistem Inti

Keempat, mereka harus memperkuat sistem inti perpajakan dan mengembangkan sistem non-filing (NFS) berdasarkan model Application Service Provider (ASP) yang melibatkan perbankan, e -wallet dan fintech untuk melacak transaksi pelanggan.

Hal ini harus dilakukan simultan dengan core tax system dan pemberlakukan UU HPP, berjalannya sistem ini juga harus didorong dengan pemberlakuan UU Pembatasan Uang Kartal.

Strategi kelima, penerapan persentase pajak berdasarkan komoditas atau sektor untuk rasionalisasi persentase pajak, komoditas atau sektor yang sedang ”boom” membayar besaran pajak yang lebih besar dibandingkan komoditas atau sektor yang sedang ”bust” atau menerapkan besaran pajak progresif kepada kelompok dengan pendapatan tinggi karena dalam survey OECD (2022) Indonesia termasuk negara yang kontribusi pajak pendapatan pribadi yang masih rendah.

Terakhir, individu maupun lembaga harus memastikan pendapatan negara diperoleh berdasarkan prinsip Competency, Integrity, Accountability, Compassion, dan Conscience karena apabila output yang diberikan nantinya business as usual maka adanya ”Trio WaMenKeu” hanya menjadi zero-sum game.

  • Penulis, Jonathan Ersten Herawan, Alumnus Prodi Ekonomi Pembangunan FBE UAJY, Junior Analyst PP ISEI & Mahasiswa Magister Ekonomi Terapan (MET) Unika Atma Jaya Jakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.