- Korupsi yang terjadi di Indonesia dari korupsi tingkatan mikro-kecil (petty corruption) sampai korupsi tingkat kakap/tinggi atau skala besar (grand corruption).
- Korupsi yang terjadi sudah termasuk kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) harus direspons dengan tindakan yang luar biasa (extra ordinary measure).
JOGJA, bisnisjogja.id – Ikatan Dosen Katolik Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (IKDKI DIY) telah menggelar webinar nasional dengan topik ”Menanti UU Perampasan Aset yang Bermatabat dan Berkeadilan”.
Webinar tersebut diselenggarakan dalam rangka HUT IKDKI ke enam pada bulan November 2025. Dalam webinar hadir narasumber Prof Marcus Priyo Gunarto (Ketua Departemen Hukum Pidana FH UGM) dan Prof Gabriel Lele (Direktur Pusat Pengembangan dan Kapasitas Kerjasama Fisipol UGM).
Bertindak selaku moderator Dr Y Sri Susilo (Dosen FBE UAJY/Pengurus IKDKI DIY). Jumlah peserta webinar mencapai 52 orang yang merupakan pengurus dan anggota IKDKI dari berbagai wilayah di Indonesia.
”Dalam rangkaian HUT ke enam IKDKI, baik pengurus pusat dan daerah menyelenggarakan berbagai kegiatan akademik,” jelas Rama Bernardus Agus Rukiyanto SJ (Ketua IKDKI DIY).
Menurut Rama Ruki, untuk IKDKI DIY menyelenggarakan webinar dengan topik UU Perampasan Aset. Seperti diketahui, UU Perampasan Aset adalah regulasi yang memungkinkan negara merampas aset dari tindak pidana, terutama kejahatan ekonomi seperti korupsi, bahkan tanpa harus menunggu vonis pengadilan.
Saat ini, RUU ini masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025–2026 dan segera dibahas oleh Pemerintah dan DPR.
Daya Rusak
”Korupsi memiliki daya rusak secara ekonomi, sosial, politik dan hukum,” tegas Gabriel Lele.
Menurutnya, korupsi yang terjadi di Indonesia dari korupsi tingkatan mikro-kecil (petty corruption) sampai korupsi tingkat kakap/tinggi atau skala besar (grand corruption).
Korupsi yang terjadi sudah termasuk kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) harus direspons dengan tindakan yang luar biasa (extra ordinary measure).
Gabriel menjelaskan bahwa perampasan dapat dilakukan dengan dua pendekatan. Kedua pendekatan termaksud adalah, Conviction-Based Asset Forfeiture (CBAF) yaitu perampasan berdasarkan keputusan pengadilan. Berikutnya, Non-Conviction-Based Asset Forfeiture (NCBAF) yaitu perampasan berdasarkan dugaan ketidakjelasan asal usul aset (unexplained asset).
Kelebihan CBF, berkekuatan hukum tetap atau jelas dan menghindari kesewenang-wenangan atau politisasi perampasan. Keterbatasannya, memakan waktu lama untuk pembuktian dengan risiko penghilangan jejak.
Pada NCBAF mempunyai kelebihan lebih cepat prosesnya terutama untuk pemulihan kerugian dan pencegahan pencucian. Keterbasannya, terdapat potensi penyelewengan dan atau politisasi.
Tiga Manfaat
Menurut Marcus Priyo Gunarto terdapat beberapa catatan terhadap RUU Perampasan Asdet versi Pemerintah tahun 2019. Catatan termaksud, menganut prinsip NCBAF, perampasan asset sebagai upaya paksa untuk semua tindak pidana, tanpa penghukuman. dan dasar persangkaan adalah kekayaan berlebih diperoleh dari perbuatan jahat.
Selain itu, berpotensi menggunakan pembuktian terbalik, berpotensi negara merampas harta legal dari masyarakat yang tidak dapat dibuktikan.
Ketiga manfaat tersebut berkaitan dengan konsep teoritik pemberantasan aset, yaitu memulihkan aset negara yang hilang akibat kejahatan (Tipikor). Menghilangkan/membasmi keuntungan ekonomi yang diperoleh dari kejahatan ekonomi (TPPU, TPPO dan narkoba). Mencegah penggalangan dana untuk melakukan tindak pidana yang membahayakan kelangsungan bangsa dan negara (pendanaan teorisme).
Ia juga mengingatkan bahwa perampasan aset tanpa pemutusan pemidaan (NCBAF) seharusnya bersifat komplemen, bukan substitusi dari proses pidana atau bersamaan.
”Perampasan aset merupakan upaya terakhir, bukan pilihan mekanisme yang bisa dilakukan bersama-sama dengan proses pidana,” tandasnya.
Menurut Marcus, proses NCBAF hanya dapat diajukan jika penuntutan tidak memungkinkan (unavailable) atau tidak berhasil (unsuccesful), seperti kurang cukup bukti, tersangjka/terdakwa meninggal dunia, melarikan diri, kekebalan diplomatik dan sebab hukum lainnya.